Manajemen Sistem Informasi

  

Pengertian Manajemen Sistem Informasi (MSI)

Manajemen Sistem Informasi (MSI) adalah disiplin yang berfokus pada perencanaan, pengembangan, pengoperasian, dan pengelolaan sistem informasi dalam sebuah organisasi. Ini mencakup pengelolaan teknologi informasi (TI) dan sumber daya manusia yang terlibat dalam penggunaan sistem informasi untuk mencapai tujuan organisasi. Manajemen Sistem Informasi mencakup berbagai aspek, termasuk:

Perencanaan TI: Ini mencakup perencanaan strategis untuk penggunaan teknologi informasi dalam organisasi, termasuk penentuan kebijakan dan tujuan TI yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.

Pengembangan Sistem: Proses merancang, membangun, menguji, dan mengimplementasikan sistem informasi yang diperlukan untuk mendukung operasi dan keputusan organisasi.

Manajemen Proyek TI: Mengelola proyek-proyek pengembangan sistem informasi agar tetap berjalan sesuai rencana, anggaran, dan tenggat waktu.

Manajemen Basis Data: Pengelolaan basis data organisasi untuk memastikan data tersedia, aman, dan dapat diakses dengan efisien.

Keamanan Informasi: Melindungi sistem dan data dari ancaman keamanan, termasuk serangan siber, serta mengembangkan kebijakan dan prosedur keamanan yang tepat.

 

Dukungan Teknis: Memberikan dukungan teknis kepada pengguna sistem informasi dan menjaga agar sistem berjalan dengan baik.

Pengambilan Keputusan: Menggunakan data dan informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi untuk mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik dalam organisasi.

Evaluasi Kinerja: Memantau kinerja sistem informasi dan menilai apakah sistem tersebut mencapai tujuan organisasi dan apakah perlu dilakukan perbaikan atau peningkatan.

Manajemen Sistem Informasi sangat penting dalam era digital, di mana teknologi informasi menjadi inti dari operasi bisnis dan pengambilan keputusan. Pengelolaan yang efektif dari sistem informasi dapat membantu organisasi meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing mereka.




https://www.youtube.com/watch?v=1_E6UYL2rrY&ab_channel=SuryaniStaal

Di era modern yang serba dinamis ini, organisasi seperti perusahaan berusaha untuk selalu berubah dari waktu ke waktu. Semboyan “today has to be better than yesterday” berusaha untuk ditanamkan ke seluruh jajaran manajemen dan karyawan. Sistem informasi sebagai salah satu komponen utama perusahaan modern juga tidak lepas dari tuntutan untuk selalu memperbaiki kinerjanya. Perkembangan teknologi informasi yang kecepatannya eksponensial saat ini memberikan dampak yang cukup besar bagi perusahaan yang ingin selalu beradaptasi dengan teknologi terbaru.

Ada satu masalah yang kerap diperdebatkan antara praktisi teknologi informasi dan manajemen: perubahan semacam apakah yang cocok diterapkan di perusahaan? Di lihat dari kacamata manajemen organisasi, perubahan secara evolusioner (perlahan-lahan) yang cenderung dipilih, berlawanan dengan pendekatan perubahan revolusioner yang cocok diterapkan jika ingin selalu memanfaatkan teknologi informasi terbaru. Para pakar teknologi informasi dari Sloan School of Management di Massachusetts Institute of Technology (MIT) memberikan suatu kerangka landasan yang dinamakan sebagai “MIT ’90 Five Layer Model” untuk membantu manajemen perusahaan dalam mencermati permasalahan ini (Scott-Morton, 1991).

Dalam menganalisa permasalahan ini, mereka mencoba melihat dari dua buah sisi: besarnya manfaat atau benefit yang akan didapatkan perusahaan, dan tingkat perubahan manajemen internal perusahaan yang harus dijalani (business transformation). Jenis perubahan pertama disebut sebagai “localised exploitation” karena wilayah perubahan hanya terjadi di sebuah fungsi atau departemen di dalam organisasi. Katakanlah Divisi SDM ingin menerapkan Sistem Aplikasi Personalia sebagai pengganti sistem manual yang saat ini dipergunakan. Otomatis proses dan prosedur baru sehubungan dengan diimplementasikannya aplikasi ini hanya diperuntukkan bagi para karyawan di Divisi SDM tersebut.

Dampaknya pun secara langsung hanya akan dinikmati oleh divisi yang bersangkutan, tidak secara signifikan berpengaruh ke seluruh fungsi-fungsi yang ada di perusahaan. Dari segi resiko, perubahan ini dapat secara “aman” dilakukan karena ruang lingkupnya yang terbatas. Jenis perubahan kedua yang dikenal dengan istilah “internal integration” merupakan perubahan yang terjadi, dimana tujuan utama adalah untuk melakukan integrasi antar fungsi-fungsi atau departemen-departemen yang ada dalam perusahaan.

Dalam teori organisasi modern, perusahaan yang ingin berkembang saat ini harus merubah filosofi cara memandang aktivitas internal perusahaan, dari yang berbasis hirarki (atau fungsional) untuk keperluan manajemen internal, menjadi berbasis proses yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Contohnya adalah penerapan Sistem Informasi Lembur Karyawan yang secara langsung akan berdampak pada paling tidak tiga direktorat perusahaan, yaitu Direktorat Sumber Daya Manusia, Direktorat Keuangan, dan Direktorat Operasi. Seorang karyawan yang lembur kerja di daerah pertambangan, harus memperoleh ijin kerja lembur dari supervisornya (Direktorat Operasi), dimana besarnya uang lembur dan jumlah jam lembur akan ditentukan dan dikelola oleh manajer personalia (Direktorat SDM), dengan pembayaran uang lembur yang akan ditangani oleh staf bagian penggajian karyawan

Evektifitas Manajemen Sistem Informasi (MSI)

Banyak sekali persoalan di kalangan pelaku bisnis dan praktisi teknologi informasi di Indonesia yang mengeluhkan kecilnya prosentase proyek-proyek teknologi informasi yang sukses melewati tahap implementasi. Tidak terpakainya sistem yang bersangkutan, hasil yang tidak efektif dan sesuai dengan kebutuhan bisnis, ketergantungan terhadap vendor teknologi informasi yang memiliki kualitas pelayanan buruk, rendahnya tingkat kemampuan atau skill SDM (sumber daya manusia) internal perusahaan, terlalu kompleksnya sistem yang diinstalasi, budaya perusahaan yang tidak mendukung, besarnya biaya pemeliharaan sistem, merupakan beberapa fenomena klasik yang mewarnai kegagalan-kegagalan tersebut.

Dari semua keluhan, yang paling besar dan terlihat dampaknya secara langsung ke proses pengambilan keputusan dalam perusahaan adalah kualitas data atau informasi yang buruk, kurang dapat dipercaya, dan jauh dari lengkap. Hampir seluruh jajaran manajemen, praktisi teknologi informasi, maupun para konsultan sistem informasi menyalahkan faktor manusia (SDM perusahaan) sehubungan dengan hal tersebut. Terkesan dari mereka bahwa seolah-olah tidak ada tawar-menawar lagi bagi suatu perusahaan di jaman serba modern ini (yang ingin memiliki sistem informasi yang baik) kecuali membuat seluruh karyawannya, mulai dari buruh sampai dengan pimpinan puncak harus computer literate.

Tentu saja hal ini mustahil dan sulit diterapkan. Alasan pertama adalah karena pada dasarnya people do not like to change (manusia tidak menyukai perubahan). Dalam format perusahaan, seorang karyawan lebih suka mempertahankan status quo-nya yang sudah terbukti dapat memperlihatkan eksistensi pribadinya selama ini. Alasan kedua adalah people are difficult to change (manusia sangat sulit untuk berubah). Tidak mudah merubah kebiasan hidup sehari-hari yang sudah mendarah daging. Kalau permasalahannya adalah karena dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mempelajari ketrampilan baru, hal itu tidaklah menjadi persoalan. Namun kalau sudah menyangkut terbatasnya skill karyawan yang bersangkutan dikarenakan latar belakang pendidikannya yang rendah, hal ini menjadi isu yang serius.

Dan alasan yang terakhir sulitnya membuat seluruh jajaran SDM harus trampil menggunakan komputer adalah karena pada kenyataannya, perubahan akan membutuhkan waktu, yang notabene akan mengganggu kegiatan bisnis sehari-hari, padahal the business has to still go on… Lalu bagaimana mengatasi hal ini? Kalau dilakukan analisa terhadap nature dari sistem informasi yang dikembangkan di perusahaan, ternyata tidak semua level karyawan harus menjadi fokus perubahan. Berikut adalah penjelasan yang melatarbelakangi hipotesa tersebut.

Alur Data dan Informasi

Seperti diketahui bersama, inti dari sistem informasi adalah bagaimana merubah data mentah menjadi informasi yang berguna bagi para pengambil keputusan. Dalam piramida perusahaan, terlihat bahwa ada tiga tingkatan pengolahan data menjadi suatu informasi. Tingkat pertama adalah pada tingkat transaksi, dimana untuk pertama kalinya data mentah direkam ke dalam perangkat penyimpan komputer (data storage). Proses ini biasa dinamakan data entry. Tingkat kedua adalah pada saat data yang berasal dari berbagai macam sumber, memasuki tahap konsolidasi.

Teknologi informasi yang biasa dimanfaatkan untuk keperluan ini adalah data warehousing, dimana seluruh data yang terkumpul tersentralisasi dan dikonsolidasikan satu sama lain di sistem ini. Di perusahaan yang belum memiliki data warehouse, konsolidasi biasanya dilakukan secara manual (data di-entry ulang) atau pun dengan membuat program-program interface yang menghubungkan antara beberapa modul yang terpisah. Tingkatan terakhir adalah proses dimana data diproses sehingga menjadi informasi yang relevan bagi pengguna/pemakai (users) sistem komputer. Pada dasarnya, proses yang terjadi di sini adalah aktivitas meringkas data yang telah tersimpan di data warehouse atau sistem basis data (database) terkait. Seorang penyelia (supervisor) perlu mendapatkan ringkasan data transaksi yang ada terjadi di divisinya (transactional information system).

Di tingkatan manajemen, biasanya terjadi peringkasan lebih lanjut terhadap informasi yang dihasilkan transactional information system sehingga sesuai dengan kebutuhan para manajer (management information system). Di tingkat yang lebih tinggi lagi, informasi harus disajikan sedemikian rupa sehingga dapat mendukung proses pengambilan keputusan. Sistem pada tahap ini biasa dikenal dengan decision support system. Informasi tertinggi perlu tersedia untuk keperluan para direktur dan manajer senior. Ringkasan informasi yang jauh dari detail ini (biasanya hanya memperlihatkan status perusahaan berupa kinerja perusahaan yang notabene berisi profit yang diperoleh pada periode yang bersangkutan – atau segala hal yang berkenaan dengan revenue atau costs) biasanya disediakan oleh sebuah mekanisme yang dinamakan executive information system.

Fokus Perhatian

Melihat proses alir data menjadi informasi di atas terlihat bahwa level transaksi merupakan lapisan tempat data pertama kali masuk ke dalam sistem (sumber data). Hukum garbage-in-garbage-out berlaku pada kedua level di atasnya; jika data yang dimasukkan (data entry) pada level transaksi berkualitas rendah (salah, kurang detail, tidak lengkap, dsb.) maka kualitas yang sama akan didapat pada transactional information system, management information system, decision support system, dan executive information system. Jika ditinjau secara lebih lanjut siapa saja sumber daya manusia di dalam perusahaan yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap proses pengolahan data menjadi informasi, terlihat bahwa para administrator atau karyawan yang bertugas sebagai data entryI-lah jawabannya. Hal ini disebabkan karena merekalah yang pertama kali memasukkan data ke dalam sistem informasi perusahaan melalui terminal komputer. SDM pada level konsolidasi hanya merupakan para pemelihara sistem saja (jika prinsip-prinsip data warehousing diterapkan), sedangkan SDM pada level ringkasan merupakan pengguna atau users yang notabene merupakan ‘penikmat’ informasi yang disajikan.

 

Kualitas SDM Pada Level Transaksi

Kembali pada kenyataan sehari-hari, dapat dianalisa bagaimana profil SDM data entry di perusahaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa mereka berada pada tingkatan yang cukup rendah (seringkali merupakan yang terendah dibandingkan fungsi-fungsi lain). Dari segi remunerasi, mereka memiliki bobot yang kecil sehingga imbalan atau kompensasi yang diberikanpun relatif kecil. Ditinjau dari proses rekrutmen, terlihat pula bahwa kebanyakan hanya memiliki latar belakang sekolah menengah (SMP atau SMA), bukan perguruan tinggi. Segi lain juga memperlihatkan, bahwa posisi mereka yang berada di bawah pada pohon struktur organisasi menyebabkan ‘perlakuan’ manajemen yang kurang baik terhadap mereka: kurang perhatian, acuh tak acuh, dan tidak perduli.

Sehingga bukan merupakan hal yang aneh bahwa ketiga keadaan ini menyebabkan buruknya kualitas data yang dapat diperoleh. Gaji yang kecil menyebabkan karyawan data entry ‘malas’ memasukkan data secara sungguh-sungguh karena bagi mereka hanya merupakan pekerjaan administrasi yang kurang menantang, berulang-ulang, dan membosankan. Secara prinsip, tidak ada keuntungan atau benefit langsung yang dapat mereka rasakan seandainya data yang dimasukkan itu benar.

Dengan kata lain, mereka tidak perduli apakah data yang dimasukkan benar atau tidak, lengkap atau tidak, berkualitas atau tidak. Latar belakang mereka yang lulusan sekolah menengah-pun menyebabkan kurangnya wawasan mereka terhadap konsekuensi kualitas pekerjaan mereka terhadap keadaan makro perusahaan. Bagaimana mereka dapat mengetahui dan memahami fungsi strategis dari informasi yang berasal dari data yang mereka masukkan? Anggapan manajemen bahwa mereka adalah pegawai rendahan semakin memperburuk kinerja kerja yang terjadi. Biasanya sebagai pegawai rendahan, yang mereka tahu adalah memasukkan data sesuai jadwal (tanpa perduli dengan mutunya), sehingga tidak harus pulang malam (seringkali tidak ada uang lembur) atau ditegur oleh atasannya.

Strategi Menghadapai Masalah SDM

Melihat kenyataan tersebut, manajemen perlu mengambil langkah-langkah demi terciptanya efektivitas penggunaan sistem informasi. Strategi pertama adalah memberikan pelatihan khusus untuk meningkatkan skill SDM dalam hal data entry. Terkadang pelatihan ini pun harus disertai dengan sedikit perubahan pada sistem pemasukkan data. Tidak jarang sistem antarmuka (user interface) terpaksa harus dimodifikasi untuk mempermudah para data entry dalam memasukkan data mentah dan mengurangi kesalahan-kesalahan yang kerap terjadi, misalnya dengan cara merubah tampilan berbasis DOS menjadi Windows, input melalui pengetikkan keyboard secara manual (teks dimasukkan satu persatu) menjadi automatic combo box selection melalui mouse, membuat tampilan persis seperti dokumen aslinya (melalui proses scanning), dan lain sebagainya. Sumber: Renaissance Advisors, 1997. Strategi kedua adalah sedapat mungkin berusaha memperlihatkan bahwa ada keuntungan atau benefit secara langsung yang dapat mereka rasakan jika data yang mereka masukkan benar. Misalnya dengan cara mereka dapat pulang lebih awal jika data yang dimasukkan 100% benar (karena tidak harus memperbaiki kesalahan dengan cara entry ulang), pemberian insentif atau bonus berdasarkan kerangka tertentu, pekerjaan menjadi lebih ringan, rotasi antar karyawan yang melakukan data entry ke beberapa sistem yang berbeda untuk mengatasi kebosanan, pemberian pelatihan cara mengisi yang mudah dan cepat, dan cara-cara efektif lainnya.

Strategi selanjutnya adalah tentu saja secara berkala mengadakan evaluasi terhadap pekerjaan mereka (mendengarkan keluhan mereka merupakan hal yang sangat kritikal namun jarang dilakukan oleh manajemen). Jika karyawan pada level ini dapat dipelihara kesungguhan dan keseriusan dalam melakukan pekerjaan pemasukkan data ke dalam sistem komputer, maka niscaya pengolahan informasi di tahap selanjutnya dapat dengan mudah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. 




 

Referensi:



 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alat Output Komputer

Alat Input Komputer